Hukum Mengadu Hewan Dalam Pandangan Islam



Tradisi mengadu hewan sebagai tontonan amat umum dilakukan masyarakat tradisional di Indonesia. Mulai dari adu ayam hingga adu balapan sapi bisa ditemui di beberapa daerah. Di daerah pesisir Selatan Jawa Barat juga dikenal adanya permainan yang disebut dengan adu bagong. Bagong adalah istilah lain untuk menyebut babi hutan. Dalam permainan ini babi diadu dengan anjing peliharaan masyarakat.
Pertarungan hidup mati antara babi dan anjing ini disebut sudah ada sejak sekitar tahun 1960-an. Berawal dari keluhan masyarakat sekitar yang perkebunannya rusak akibat hama babi hutan, wargapun menggelar perburuan dengan bantuan kawanan anjing. Atas pengalaman itu, masyarakat menjadi terbiasa melihat perkelahian antara anjing dan babi hutan. Kebiasan ini akhirnya membawa pertandingan itu ke dalam arena khusus. Konon di arena ini ada pula yang mengatakan adu bagong bahkan dilakukan antara babi dengan pendekar jawara.

A. Pandangan Islam mengenai Adu Binatang
Pada hakekatnya Islam mengajarkan pada umatnya untuk menyayangi binatang dan melestarikan kehidupannya. Di dalam Al-qur’an, Allah SWT menekankan bahwa telah menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu didunia ini, hal ini tertuang dalam surat Al-Jatsiyah,45:13 .
“Dan Dia telah menundukan untukmu segala apa yang ada di langit dan segala apa yang ada di muka bumi; semuanya itu dari Dia; sesungguhny di dalam yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir.”
Ayat ini sama sekali tidak menunjukan bahwa manusia memiliki kekuasaan mutlak (carte blance) untuk berbuat sekendak hatinya dan tidak pula memiliki hak tanpa batas untuk menggunakan alam sehingga merusak keseimbangan ekologisnya. Begitu pula ayat ini tidak mendukung manusia untuk menyalahgunakan binatang untuk tujuan olahraga maupun untuk menjadikan binatang sebagai objek eksperimen yang sembarangan. Ayat ini mengingatkan umat manusia bahwa Sang Pencipta telah menjadikan semua yang ada di alam ini (etrmasuk satwa) sebagai amanah yang harus mereka jaga.
Al-qur’an berkali-kali mengingatkan bahwa kelak manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka di dunia, seperti yang termaktub dalam ayat berikut :
“Barang siapa melakukan amal saleh, maka (keuntungannya) adalah untuk dirinya sendiri; dan barang siapa melakukan perbuatan buruk, maka itu akan mengenai dirinya sendiri. Dan kelak kamu semua akan kembali kepada Tuhanmu” (Q.S Al-Jatsiyah, 45:15)
Karena itu, umat manusia harus memanfaatkan segala sesuatu menurut cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, Muhammad Fazlur Rahman Anshari menulis :
“Segala yang dimuka bumi ini diciptakan untuk kita, maka sudah menjadi kewajiban alamiah kita untuk : menjaga segala sesuatu dari kerusakan ; Memanfaatkannya dengan tetap menjaga martabatnya sebagai ciptaan Tuhan; Melestarikannya sebisa mungkin, yang dengan demikian, mensyukuri nikmat Tuhan dalam bentuk perbuatan nyata.” {Muhammad Fazlur Rahman Anshari, The Qur’anic Founation and Structure of Muslim Society (Karachi:Trade and Industry Publications Ltd, 1973) Vol 2, hal. 126 }
Menyangkut hewan atau satwa peliharaan, Al-Qur’an dalam surat Al-Nahl menyebutkan beberapa jalan di mana hewan-hewan tersebut memberi manfaat kepada manusia :
a. Dan dia telah menciptakan binatang ternak untukmu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat lainnya dan sebagiannya kamu makan (Q.S. Al-Nahl,16:5)
b. Dan mereka membawakan muatan milikmu yang berat menuju tanah yang tidak dapat kau capai dengan selamat kecuali dengan upaya yang sangat berat; karena sesungguhnya Tuhanmu benar-benar maha pengasih dan penyayang (Q.S. Al-Nahl, 16:7)
c. Dan dia telah menciptakan kuda, bagal, dan keledai untukmu baik sebagai kendaraan maupun sebagai hiasan; dan Dia telah menciptakan makhluk-makhluk lainnya yang belum kamu ketahui (Q.S. Al-Nahl, 16:8)
Mari kita pertimbangkan implikasi kutipan ayat-ayat di atas. Dalam hubungannya dengan ayat (a), kita harus memperhatikan bahwa kulit dan bulu binatang ternak boleh dimanfaatkan. Namun, Nabi Muhammad SAW, melarang penggunaan kulit binatang liar walaupun sekedar untuk alas lantai. Jika aturan ini ditaati oleh semua orang, maka pembunuhan sia-sia terhadap beberapa jenis binatang liar demi meraih keuntungan semata niscaya tidak terjadi lagi. Demikian pula, kendati umat islam diperbolehkan mengkonsumsi daging beberapa binatang tertentu, tapi perlu diingat bahwa hal ini tidak menghalalkan pembantaian secara kejam dan tak tekendali terhadap mereka.
Dalam hubungannya dengan ayat (b) dan (c), kita harus ingat bahwa orang-orang Arab di masa lalu sepenuhnya bergantung pada binatang, misalnya unta, yang membantu membawa barang-barang mereka untuk diperdagangkan ke tempat-tempat jauh. Walaupun begitu, Nabi SAW, memperingatkan agar hewan-hewan pengangkut semacam itu diperlakukan dengan baik selama di perjalanan.Entah legal ataupun tidak, acara adu domba sebenarnya adalah acara yang kontroversial, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam, sekaligus negara dengan muslim terbanyak di dunia, seharusnya mencerminkan perilaku muslim yang sesungguhnya, walaupun kenyataan sebenarnya penduduk Indonesia melakukan adu binatang-binatang yang tak bersalah seperti domba hingga sekarang.
Atas nama melestarikan kesenian daerah, kebiasaan ini masih dipertahankan hingga sekarang, padahal mengadu binatang adalah perilaku yang tidak hewani dan bisa dikatakan biadab, amora, dll. Kita ambil contoh lain, adu bagong dan anjing entah dimana tempatnya, yang jelas satu bagong dikeroyok oleh beberapa anjing hingga mati. Malah tak jarang adu binatang yang berkedok kesenian ini pun dijadikan ajang taruhan atau judi, memang tak secara gamblang para petaruh menggelontorkan uangnya di depan umum, tapi mereka melakukan secata rapi.
Apabila ditinjau lebih dalam, permasalahan adu mengadu binatang sangat melanggar hukum. Seperti di acara kriminal televisi, tidak jarang polisi membubarkan arena sabung ayam.
Tetapi ada yang mengatakan bahwa apabila itu menyangkut tradisi dan budaya daerah tertentu, tidak bisa kita katakan sadis. Sebab Tradisi atau budaya tertentu pada komunitas tertentu memiliki keunikan dan latar belakang tersendiri.
Apabila di Jawa Barat, ada Adu Domba, pada masyarakat Daya di Kalimantan Timur ada Budaya Menombak sapi beramai-ramai sampai sapi itu mati di ikatannya, Di Tanah Toraja ada Tradisi Adu Kerbau, Di Sumbawa ada Tradisi saling menombak pake kayu tertentu, di Toraja ada adu Saling Menendang. Belum lagi Tradisi masyarakat Latin yang mengadu Manusia dengan Banteng, dst.
Tradisi dan budaya Masyarakat tertentu bagi masyarakat yang memiliki tardisi atau budaya itu, tentu tidak sadis bagi mereka. Sebaliknya buat orang diluar komunitas tradisi tadi tentu akan mengatakan sadis. Jadi soal sadis atau tidak tergantung Masyarakat/kumunitas pemilik tradisi itu. Yang berbahaya dan sungguh-sungguh Sadis kalau tradisi Adu Domba di Masyarakat Jawa Barat kemudian dibawa dalam tatanan berpolitik dan tatanan Pemerintahan secara Nasional.
B. Menghadapi Pelaku Adu Domba
Dalam berinteraksi dengan orang lain, kadang kita berhadapan dengan orang-orang yang suka melakukan namimah (adu domba). Seringkali namimah dilakukan tanpa sadar atau dianggap bercanda.
Al Ghazali, memaknai namimah (adu domba) dengan contoh, seperti seseorang mengatakan kepada orang lain, ”Fulan berkata tentangmu bahwa kamu demikian dan demikian.” Dan itu menyangkut hal-hal yang tidak disukai, baik oleh pembicara, pelaku namimah, atau orang yang menjadi objek pembicaraan.
Selain dengan pembicaraan, namimah juga bisa dilakukan dengan isyarat atau tulisan. Namimah termasuk perbuatan maksiat, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) telah berfirman, “Yang banyak mencela, yang ke sana-sini melakukan adu domba,” (Al-Qalam [68]: 12). Di ayat sebelum di atas Allah (SWT) menyebutkan bahwa sifat itu merupakan sifat mereka yang menentang dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW).
Nah, bagaimana seharusnya kita menghadapi orang yang melakukan namimah terhadap kita? Imam An-Nawawi memberi tuntunan sebagai berikut:
a. Tidak Menerima Kabarnya
Kita tidak boleh menerima kabar berita yang dibawa seorang nammam (pelaku namimah), karena palakunya termasuk orang fasik. Sedangkan kabar orang fasik tidak diterima.”Jika mendatangi kalian orang fasik dengan membawa berita, maka lakukanlah tabayun.” (Al-Ahzab [49]: 6)
b. Menasihatinya
Suatu saat seorang laki-laki mendatangi Umar bin Abdul Aziz. Orang itu bilang, ada orang lain yang membicarakan beliau. Akhirnya Umar mengatakan, “Kalau engkau menghendaki, maka akan saya lihat keadaannya. Jika berita itu tidak benar, maka engkau orang yang disebut dalam ayat, ’Jika datang kepada kalian orang fasik dengan membawa kabar, maka bertabayunlah’. Jika engkau benar, maka engkau orang yang disebut dalam ayat ini, ‘Yang banyak mencela, yang ke sana-sini melakukan adu domba’. Jika engkau inginkan maka aku memafkanmu…” (Al Adzkar, hal. 561).
c. Membenci karena Allah
Perbuatan namimah amat dibenci Allah SWT, maka selayaknya kita juga ikut membencinya. Membenci apa yang dibenci Allah SWT adalah wajib.
d. Berprasangka Baik
Kita juga diharuskan berprasangka baik kepada orang lain, bahwa yang dikatakan itu belum tentu benar. ” …jauhilah banyak berprasangka…” (Al-Hujurat [49]: 12
e. Tidak Melakukan Tajasus
Orang yang mendapat kabar dari pihak tertentu, bahwa pihak lain mengatakan tentang dirinya sesuatu yang ia benci, hendaknya tidak melakukan tajasus alias penyelidikan, guna mengetahui apa benar berita itu atau tidak. Allah Ta’ala berfirman, ”Dan janganlah kalian memata-matai” (Al-Hujurat [49]: 12).
f. Tidak Menceritakan
Tidak perlu menceritakan apa yang kita alami, jika kita menjadi korban namimah kepada orang lain. Sebab, jika kita bercerita bahwa fulan telah melakukan namimah, maka ini berarti membicarakan keburukan pelaku namimah. Bila melakukan seperti itu , berarti kita sudah termasuk ghibah. Sedangkan ghibah dilarang dalam Islam.

0 komentar: