Di dalam Bahasa Indonesia, para penutur bahasa Indonesia modern hampir tidak bisa lagi membedakan antara nilai rasa pada kata marah dan nilai rasa pada kata murka.
Kedua kata tersebut sudah dianggap sinonim belaka. Lain halnya, pada
penutur bahasa Indonesia di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Utara
dan Riau. Mereka masih dapat merasakan beda arti dari kedua kata
tersebut. Gejolakan kata marah dirasakan tidak sebesar gejolak yang ada
pada kata murka. Artinya, emosi yang timbul pada diri seseorang pada
saat terjadinya marah, tidaklah sebesar emosi yang timbul dan meluap di
saat seseorang itu murka.
Salah satu ciri-ciri orang yang bertaqwa yang terdapat di dalam al Qur’an pada surat Ali Imran ayat 134, adalah mampu menahan ghoizh. Apakah ghoizh
itu? Dalam tafsir Ahkamil Qur’an karangan Imam Qurthubi ada dijelaskan
bahwa pada dasarnya ghoizh itu artinya hampir mirip dengan ghodhob yang
artinya marah. Namun, secara rasa bahasa ghodhob tidaklah sama persis
dengan ghoizh. Ghodhob adalah marah yang diwujudkan dengan anggota tubuh
seseorang. Orang yang marah (ghodhob) maka mulutnya akan mengeluarkan
kata-kata keji, kadang-kadang tangannya ikut menampar, memukul atau
membanting barang-barang yang ada di sekitarnya, sementara kakinya akan
menendang ke sana ke mari. Ringkasnya orang yang ghodhob itu sangat
jelek prilakunya, hilang harga dirinya, merugikan diri sendiri dan orang
lain, serta menyakiti orang-orang di sekitarnya. Arti yang paling tepat
dalam bahasa Indonesia ghodhob itu adalah murka.
Adapun ghoizh adalah marah yang terjadi
pada diri seseorang,namun kemarahan tersebut tidak wujud pada anggota
tubuhnya. Paling-paling wajahnya sedikit memerah atau matanya berkilat.
Sementara tangan, kaki, dan lidahnya tidak mengeluarkan tindakan keji
dan merugikan orang lain. Dalam ayat tersebut Allah mengatakan bahwa
ciri-ciri orang beriman adalah mereka yang mampu menahan ghoizh (marah),
dan bukan menahan ghodhob (murka).
Rasulullah bersabda: “Bukanlah orang
yang kuat dibuktikan dengan bergulat, akan tetapi orang yang kuat adalah
orang yang mampu menguasai dirinya ketika murka (ghodhob)”. (HR.
Bukhari dan Muslim). Hadis ini menjelaskan kepada kita betapa menguasai
murka diperlukan kekuatan batin yang luar biasa, digambarkan oleh hadis
di atas sebagai kekuatan yang lebih dahsyat dari seorang juara gulat….!
Di sisi lain, Rasulullah bersabda:
“Tiada gejolak yang terjadi pada diri seorang hamba yang lebih baik dan
lebih besar pahalanya bagi orang itu melainkan gejolak marah karena
Allah”. (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Baihaqi, Hasan Shahih). Hadis ini
menggambarkan kepada kita bahwa pahala menahan marah (ghaizh) sebegitu
besarnya sehingga tidak ada amalan hati yang dapat mengimbanginya dalam
hal pahala yang Allah akan berikan.
Seorang laki-laki bertanya: “Wahai
Rasulullah, apakah yang paling kuat bagi segala sesuatu?” Rasul
menjawab: “Murka Allah”. Laki-laki itu bertanya lagi: “Lantas apa yang
dapat menyelamatkan seseorang dari murka Allah?” Rasul menjawab: “Jangan
murka” (HR. Ibnu Hibban, Ahmad, dan Baihaqi).
Keutamaan lain yang dijanjikan Rasul
kepada orang yang mampu menahan marah adalah seperti yang diceritakan
dalam hadis riwayat Imam Turmidzi: “Barangsiapa yang menahan marah
padahal dia mampu untuk melampiaskan marahnya itu (menjadi murka), maka
Allah pasti memanggilnya pada hari kiamat nanti, di hadapan seluruh
makhluk Allah, lalu Allah meminta orang itu untuk memilih bidadari mana
yang dia kehendaki”. (HR. Turmidzi, Hasan).
Kisah Tentang Marah dan Murka
Diceritakan dalam banyak hadis bahwa
Rasulullah Saw. kalau pun beliau marah tidak pernah wujud pada diri
beliau hal-hal yang menyakiti orang lain atau hal-hal yang merendahkan
harga diri beliau. Pernah suatu hari beberapa orang Yahudi lewat di
depan rumah nabi. Saat itu nabi sedang bersama Aisyah Ra. Para Yahudi
itu memberikan salam dengan ucapan: “ Assamu’alaikum!” (mati kena racunlah kamu). Nabi menjawab: “wa’alaikum…..!”(Atas mu juga begitu). Serta merta Aisyah menjawab: “Wa’alaikum saam wa la’nah” (kamu semua mati kena racun dan kena laknat). Saat itu nabi menasehati Aisyah agar tidak marah dan melaknat mereka.
Pada suatu hari Mahran Ra. sedang duduk
di rumahnya dan bersiap-siap untuk makan dengan para tamu. Tiba-tiba
budak wanitanya terpeleset dan wajah beliau tersiram kuah sup panas.
Serta merta beliau bangkit dan hendak memukul budaknya itu. Sang budak
membaca ayat qur’an: “Orang bertakwa mampu menahan marah” Mahran menjawab: “Ya aku menahan marah” kemudian sang budak melanjutkan ayat tersebut: “dan memaafkan salah orang” Mahran menjawab: “Aku memaafkan mu karena Allah” kemudian budak itu menutup ayat tersebut: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. Maka, Mahram berkata: “Aku membebaskanmu karena Allah”.
Dua contoh di atas adalah orang-orang
yang mampu menahan marahnya. Sementara banyak di antara kita yang tidak
mampu menahan murka. Dalam perjalanan 1 jam dari rumah ke kantor saja di
tengah kemacetan lalu lintas mulut kita sering berubah menjadi “kebun
binatang”, di mana berbagai jenis nama hewan keluar dari mulut itu karna
murka atas pengguna jalan yang lain sebab dianggap mengganggu
kenyamanan kita.
Nah, kalau menahan murka saja kita belum mampu, bagaimana kita dapat menahan marah?
Padahal orang bertakwa tidak diminta menahan murka, tetapi justru lebih
dari itu mereka diminta untuk menahan marah. Kalau begitu kedudukan
kita ternyata masih jauh dari level orang bertakwa.
Wallahu a’lam Bishshawab
0 komentar:
Posting Komentar