Bab Haid

الحيض (Al-Haid) secara linguistic berarti mengalir. Ini dikatakan untuk lembah ‘haadal waadi’ jika ia mengalir. Dalam syari’ah, berarti darah yang keluar dari rahim. Haid memiliki nama-nama lain, sebagai berikut:

1. نفاس sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم kepada Aisyah رضي الله عنها : “anafisti?”
2. Demikian juga disebut الضحك (tersenyum) sebagaimana sebagian ulama menggunakan ayat berikut sebagai dalil:
Allah berfirman:
وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا
“Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum.” (QS Huud [11] : 71)

Namun demikian, karena tidak ada yang menghalangi untuk tetap pada pengertian ayat ini, maka yang terbaik adalah tetap berpegang pada pengertian ini.

3. الطمف

4. الإكبر
5. القراك
6. اعسار

Darah yang keluar dari uterus (rahim) wanita ada tiga jenis:
1. Darah haid
2. Darah nifas
3. Darah istihadah

Darah isithadah keluar dari pembuluh darah yang disebut العذل

Haid adalah sesuatu yang biasa dialami seluruh anak perempuan Nabi Adam sebagaimana Nabi صلى الله عليه وسلم berkata kepada Aisyah رضي الله عنها ketika ia mengalami menstruasi pada saat berhaji.

Aisyah رضي الله عنها berkata: “Kami mendahului Rasulullah صلى الله عليه وسلم tanpa maksud lain kecuali melaksanakan haji. Ketika saya berada di Sarif atau dekat Sarif, saya mengalami menstruasi. Rasulullah صلى الله عليه وسلم datang kepadaku ketika sedang menangis, kemudian beliau bertanya: “Apakah kamu haid?” Saya menjawab: “Ya.” Kemudian beliau berkata: “Haid adalah sesuatu yang Allah takdirkan terhadap anak-cucu perempuan Adam. (Shahih Muslim, Kitab: Haji, no. 1211).

Untuk lafazh “Haid pertama kali diberikan kepada anak-anak perempuan Israel” tidak benar.

Haid adalah tanda pubertas seorang wanita. Demikian pula tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan adalah tanda kedewasaan bagi wanita dan laki-laki. Contohnya adalah pada kisah Atiyyah. Diriwayatkan bahwa Abdul Malik telah berkata, “Saya mendengar Atiyyah Al-Quradhi berkata: Kami hadir dihadapan Rasulullah صلى الله عليه وسلم pada hari Quraidhah (ketika seluruh Bani Quraidhah dibunuh). Mereka yang telah memiliki rambut di kemaluannya dibunuh, dan yang belum memiliki rambut di kemaluannya dilepaskan. Saya adalah salah seorang diantara yang belum memasuki masa pubertas, maka saya pun dilepaskan.” (Sunan Ibnu Majah, Orang yang Tidak Wajib Dikenai Hukuman, Hadist no. 2541).

Kita menarik pelajaran dari hadits ini bahwa diperbolehkan memperlihatkan kemaluan ketika dibutuhkan.

Demikian juga, mengalami mimpi basah adalah salah satu diantara tanda-tanda kedewasaan.

Hadits no. 149
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا { أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ دَمَ الْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكِ فَأَمْسِكِي عَنْ الصَّلَاةِ ، فَإِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي }
رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ ، وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِمٍ


Dari 'Aisyah رضي الله عنها bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy sedang keluar darah penyakit (istihadlah). Maka bersabdalah Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepadanya: "Sesungguhnya darah haid adalah darah hitam yang telah dikenal. Jika memang darah itu yang keluar maka berhentilah dari shalat, namun jika darah yang lain berwudlulah dan shalatlah." (Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. Abu Hatim mengingkari hadits ini)


الإستحاضة adalah darah yang keluar dari rahim wanita (secara tidak normal) selain dari waktu kebiasaannya. Darah istihada cair dan berwarna merah. Nabi صلى الله عليه وسلم berkata bahwa darah haid adalah darah hitam yang dikenali dengan baunya.

Abi Hatim menyatakan hadits ini munkar. Sumber hadits ini adalah dari Ash-Shahihain dari hadits Aisyah رضي الله عنها bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Jika memang darah itu yang keluar maka berhentilah dari shalat, namun jika darah yang lain berwudlulah dan shalatlah." (Shahih Bukhari, Kitab Haid, Hadits no. 229)

Hadits ini mengajarkan kepada kita seorang wanita yang mengalami istihadah dan dapat membedakan dengan haidnya, maka dia menentukan hari-hari haidnya. Kemudian wanita yang dapat mengetahui periode menstruasinya, maka dia berpengang kepadanya dan menganggapnya sebagai hari-hari haid. Manakala tanda-tanda haid telah hilang, dia mandi dan memutuskan bahwa dirinya telah bersih (thahir).

Jenis pendarahan yang kedua adalah wanita yang tidak berhenti mengalami istihadah dan dia mengetahui periode menstruasinya. Dalam kasus ini, dia menentukan hari-hari yang dikenali sebagai hari haid dan hari-hari lainnya adalah istihadah.

Jenis pendarahan yang ketiga adalah wanita yang tidak memiliki periode menstruasi yang teratur, dan juga dia tidak dapat mengenali masa haidnya, maka dia menetapkan 6 – 7 hari setiap bulan sebagai periode menstruasinya sebagaimana yang dialami sebagian besar kaum wanita. Untuk informasi lebih lanjut silahkan merujuk pada buku “Darah Kebiasaan Wanita” oleh Syaikh Utsaimin dan Fiqhus-Sunnah vol. 1 oleh Sayid Sabiq.

Kesimpulannya, seorang wanita yang diuji dengan istihadah terbagi dalam tiga kategori berikut:

1. Wanita yang mengalami menstruasi secara teratur dan mengetahui hari-harinya, dan menentukan hari-hari tersebut sebagai masa haid.
2. Wanita yang dapat membedakan darah menstruasi dengan yang bukan (darah menstruasi), menentukan hari-hari yang dikenali sebagai hari-hari haid.
3. Wanita yang tidak mengalami menstruasi secara teratur dan tidak dapat membedakan darah menstruasi dengan jenis darah lainnya, maka hari-hari haidnya seperti sebagian besar wanita (yakni 6 – 7 hari).


Hadits no. 150

وَفِي حَدِيثِ أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ عِنْدَ أَبِي دَاوُد { وَلْتَجْلِسْ فِي مِرْكَنٍ فَإِذَا رَأَتْ صُفْرَةً فَوْقَ الْمَاءِ فَلْتَغْتَسِلْ لِلظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، غُسْلًا وَاحِدًا ، وَتَغْتَسِلْ لِلْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ غُسْلًا وَاحِدًا .
وَتَغْتَسِلْ لِلْفَجْرِ غُسْلًا وَاحِدًا .
وَتَتَوَضَّأْ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ }

Dalam hadits Asma binti Umais menurut riwayat Abu Dawud: "Hendaklah dia duduk dalam suatu bejana air. Maka jika dia melihat warna kuning di atas permukaan air hendaknya ia mandi sekali untuk Dhuhur dan Ashar, mandi sekali untuk Maghrib dan Isya', dan mandi sekali untuk shalat subuh dan berwudlu antara waktu-waktu tersebut."

Dalam hadits Asma binti Umayyah, kata mirkan ( مركن ) adalah merupakan wadah yang digunakan untuk mencuci pakaian. Hadits ini disebutkan di dalam Ash-Shahih Musnad Mimma Laisa Fis Sahihain jilid 2, halaman 456. Dalam hadits, dianjurkan (mustahab) untuk mandi sekali untuk Dzuhur dan Ashar dan mandi sekali untuk Magrib dan Isya, dan mandi untuk Subuh. Ini adalah Istihbaab dan bukan wajib.

Duduk di atas mirkan adalah cara untuk membantu mereka yang diuji dengan istihadah untuk membedakan antara darah haid dengan jenis darah lainnya. Jika warna air berubah menjadi merah gelap, maka itu adalah darah haid. Namun jika air di dalam mirkan berubah menjadi kekuningan, maka itu adalah darah istihadah.

‘dan diantara waktu itu dia harus berwudhu.” –ini berarti jika dia mandi untuk shalat Dzuhur, maka dia berwudhu untuk shalat Ashar. Jika dia mandi untuk Shalat Magrib, maka dia berwudhu untuk shalat Isya.
Hadits no. 151.

وَعَنْ { حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ : كُنْت أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَثِيرَةً شَدِيدَةً ، فَأَتَيْت النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْتَفْتِيهِ ، فَقَالَ : إنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنْ الشَّيْطَانِ ، فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ ، أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ ، ثُمَّ اغْتَسِلِي ، فَإِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ ، أَوْ ثَلَاثَةً وَعِشْرِينَ ، وَصُومِي وَصَلِّي ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُك ، وَكَذَلِكَ فَافْعَلِي كُلَّ شَهْرٍ كَمَا تَحِيضُ النِّسَاءُ ، فَإِنْ قَوِيت عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي الظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي الْعَصْرَ ، ثُمَّ تَغْتَسِلِي حِينَ تَطْهُرِينَ ، وَتُصَلِّي الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ، ثُمَّ تُؤَخِّرِينَ الْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ الْعِشَاءَ ، ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَافْعَلِي . وَتَغْتَسِلِينَ مَعَ الصُّبْحِ وَتُصَلِّينَ .قَالَ : وَهُوَ أَعْجَبُ الْأَمْرَيْنِ إلَيَّ } .
رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ ، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَحَسَّنَهُ الْبُخَارِيُّ


Hamnah binti Jahsy berkata: Aku pernah mengeluarkan darah penyakit (istihadlah) yang banyak sekali. Maka aku menghadap Nabi r untuk meminta fatwanya. Beliau bersabda: "Itu hanya gangguan dari setan. Maka anggaplah enam atau tujuh hari sebagai masa haidmu kemudian mandilah. Jika engkau telah bersih shalatlah 24 atau 23 hari, berpuasa dan shalatlah karena hal itu cukup bagimu. Kerjakanlah seperti itu setiap bulan sebagaimana wanita-wanita yang haid. Jika engkau kuat untuk mengakhirkan shalat dhuhur dan mengawalkan shalat Ashar (maka kerjakanlah), kemudian engkau mandi ketika suci, dan engkau shalat Dhuhur dan Ashar dengan jamak. Kemudian engkau mengakhirkan shalat maghrib dan mengawalkan shalat Isya', lalu engkau mandi pada waktu subuh dan shalatlah." Beliau bersabda: "Inilah dua hal yang paling aku sukai."

Diriwayatkan oleh Imam Lima kecuali Nasa'i. Shahih menurut Tirmidzi dan hasan menurut Bukhari.

Hamma binti Jahsy رضي الله عنها adalah seorah sahabiyah dan dia adalah saudara Zainab رضي الله عنها (isteri Nabi صلى الله عليه وسلم , Hamna adalah salah seorang yang terlibat dalam kejadian الإفك . Sedangkan Zainab, Allah melindunginya dari keterlibatan itu karena keshalihannya.

Imam Asy-Syaukani رحمه الله menyebutkan dalam Nailul Autar bahwa kata ركضةاستنقات berarti bahwa setan menemukan jalan untuk menghalangi urusan agamanya, kesuciannya, dan shalatnya. berarti menjadi suci.

Al-Bukhari menghasankan hadits ini, dan At-Tirmidzi terlalu mudah menshahihkan hadits ini.

Dalam hadits ini, kita dapat menarik pelajaran bahwa mereka yang mengalami istihadah, disunnahkan untuk mengakhirkan Dzuhur untuk mandi bagi Dzuhur dan Ashar, demikian pula mandi untuk Magrib dan Isya, dan mandi untuk Subuh. Ini adalah sunnah dan tidak wajib.

أعجب الأمرين إلي berarti pendapat kedua yakni mandi setiap dua waktu shalat. Namun demikian, sebagian ulama berkata bahwa bagian hadits yang ini bukan dari Nabi صلى الله عليه وسلم dan Allah Maha Mengetahui.

Hadits no. 152


وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا { أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ شَكَتْ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدَّمَ ، فَقَالَ : اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُك حَيْضَتُك ، ثُمَّ اغْتَسِلِي فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ لِكُلِّ صَلَاةٍ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Ummu Habibah binti Jahsy mengadukan pada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tentang darah (istihadlah. Beliau bersabda: "Berhentilah (dari shalat) selama masa haidmu menghalangimu, kemudian mandilah." Kemudian dia mandi untuk setiap kali shalat. Diriwayatkan oleh Muslim.

Ummu Habibah adalah saudara Zainab dan Hamnah. Hadits ini diriwayatkan Muslim. Dalam hadits ini, kita menarik pelajaran diperbolehkannya bertanya kepada Ahlul Dzikir. Juga di dalam hadits Aisyah رضي الله عنها kita mempelajari bahwa wanita berhenti dari shalat dan puasa (pada masa haid).

Dalam hadits disebutkan mandi untuk setiap shalat. Bagian dari hadits ini berasal dari dia (Aisyah) sendiri dan bukan Nabi صلى الله عليه وسلم . Nabi memerintahkannya untuk mandi sekali ketika masa haidnya berakhir.

Istihadah membatalkan wudhu. Ini dari jumhur ulama. Wanita yang mengalami istihadah harus berwudhu untuk setiap shalat.1)

Ini untuk wanita yang memiliki periode menstruasi yang teratur, yang mengetahui kapan waktu menstruasinya dimulai dan kapan berakhir, dan berapa hari dia mengalami menstruasi.

Hadits no. 154

وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ { : كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا } .
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُد ، وَاللَّفْظُ لَهُ
Ummu Athiyyah Radliyallaahu 'anhu berkata: “Kami tidak menganggap apa-apa terhadap cairah keruh dan warna kekuningan setelah suci.”
Riwayat Bukhari dan Abu Dawud. Lafadznya milik Abu Dawud.

Kalimat بعد الطهر (setelah suci) tidak terdapat dalam hadits Al-Bukhari. Ini merupakan milik Abu Daud yang juga shahih.

الكدرة – keruh (warnanya seperti air yang kotor).
الصفرة – kuning

Dalam hadits ini, wanita yang mengalami kudrah dan sufrah selain dari waktu menstruasi tidak dianggap haid. Ini adalah pengertian harafiah dari hadits di atas. Namun demikian, pengertian dari hadits diatas menunjukkan bahwa jika kudrah dan sufrah dialami dalam masa menstruasi maka hal itu tetap dianggap darah haid.

Ummu Atiyyah bernama Nasaibah. Taharrah (masa suci) ditunjukkan pada salah satu dari dua hal berikut: cairan putih yang dikeluarkan rahim atau keringnya daerah sekitar kemaluan (yakni berhenti keluarnya darah dari rahim).

Jika wanita mengalami kudrah dan sufrah sehari, dua atau tiga hari sebelum masa menstruasi yang sebenarnya, maka ini tidak dianggap haid, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Ummu Atiyyah.

Hadits no. 155
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، { أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ إذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إلَّا النِّكَاحَ } .
رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa orang yahudi jika ada seorang perempuan di antara mereka yang haid, mereka tidak mengajaknya makan bersama. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kerjakanlah segala sesuatu kecuali bersetubuh." Diriwayatkan oleh Muslim.

Dalam hadits ini kita mempelajari bahwa kita harus berbeda dari kaum Yahudi dan tidak mengikuti mereka. Dan juga terdapat larangan bersenggama ketika wanita mengalami menstruasi.

النكاح – berarti bersenggama. Dalam hadits ini, diperbolehkan melakukan hubungan intim namun yang tidak termasuk penetrasi dengan wanita yang sedang haid.

Hadits no. 156

وَعَنْ { عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ } .
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menyuruh kepadaku mengenakan kain, dan aku laksanakan, lalu beliau menyentuhkan badannya kepadaku, padahal aku sedang haid. Muttafaq Alaihi.

Ada tiga jenis Mubasyarah ( مباشرة ) ketika menstruasi. (Kata ini memiliki banyak arti. Ia dapat berarti senggama, cumbuan antara pria dan wanita, menyentukan kulit dengan kulit, tidur bersama atau bersetubuh. Anda perlu memeriksa kalimatnya untuk mengetahui makna yang sebenarnya).

1. مباشرة bersenggama – melakukan penetrasi terhadap kemaluan wanita. Ini haram dalam Al-Kitab dan Sunnah dan ijma para ulama.
2. مباشرة bercumbu antara perut dan pusar kecuali kemaluan. Hal ini tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama. Namun demikian, ada sekelompok ulama yang membolehkannya karena hadits Aisyah رضي الله عنها dan inilah pendapat yang paling benar. Namun jika seseorang khawatir terjatuh dalam hal yang diharamkan, maka dia harus menghindarinya.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda bahwa seseorang yang menghindari hal-hal yang meragukan telah membersihkan dirinya menyangkut agama dan kehormatannya, namun seseorang yang jatuh kepada hal-hal yang meragukan (mutasyabihat) jatuh ke dalam hal-hal yang diharamkan, sebagaimana penggembala di sebuah tanah larangan, dan hampir saja ia terjerumus ke dalamnya. Setiap raja mempunyai tanah larangan, dan tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkannya.2)
3. مباشرة dari atas pusar dan di bawah lutut. Hal ini diperbolehkan.
أتزار – berarti mengenakan izar sebagaimana yang disebutkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juz 1 hal. 404 (yakni dia mengikatkan izar kencang pada pinggangnya).
Para Fuqaha berkata bahwa bagian yang harus ditutup adalah bagian tubuh antara pusar. Inilah yang berlaku.
4. مباشرة – berarti menyentuhkan kulit dengan kulit.

Wallahu A’lam.



_____________
Catatan kaki:
1) Hal ini terdapat pada Hadits no. 153 yang tidak tercantum disini, dengan lafazh sebagai berikut:
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : " وَتَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ " ، وَهِيَ لِأَبِي دَاوُد وَغَيْرِهِ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ

Dalam suatu riwayat milik Bukhari: "Dan berwudlulah setiap kali shalat." Hadits tersebut juga menurut riwayat Abu Dawud dan lainnya dari jalan yang lain.

2. Ini merupakan hadits riwayat Al-Bukhari yang tercantum dalam Arbain An-Nawawi hadits no. 6 sebagai berikut:
An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya…..”

***

Sumber : http://www.salafitalk.net

Penomoran hadits-hadits tersebut diatas tidak dicantumkan sebagaimana yang terdapat dalam artikel aslinya, namun disesuaikan dengan nomor urut hadits yang terdapat pada kitab Bulughul Maram. 
Hadits no. 157


وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ - قَالَ : يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ ، أَوْ بِنِصْفِ دِينَارٍ رَوَاهُ الْخَمْسَةُ ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَابْنُ الْقَطَّانِ ، وَرَجَّحَ غَيْرُهُمَا وَقْفُهُ

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tentang orang yang mencampuri istrinya ketika dia sedang haid. Beliau bersabda: "Ia harus bersedakah satu atau setengah dinar." Riwayat Imam Lima. Shahih menurut Hakim dan Ibnul Qaththan dan mauquf menurut yang lainnya. [1]

Berkata Ibnu Hajar bahwa para ulama, kecuali Al-Hakim dan Ibnu Qaththan, memandang hadits ini mauquf. Bahwa hadits ini marfu (disandarkan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم tidak shahih.

(Beberapa istilah) :
Dinar adalah uang emas
Dirham adalah uang perak

Pertanyaan:

Jika seseorang berjima’ dengan isterinya yang sedang mengalami menstruasi, apakah ada kafarah baginya?

Jawaban:

Sebagian besar ulama seperti Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam atsarnya berkata bahwa tidak ada kafarat baginya. Namun demikian, apa yang diwajibkan atasnya adalah bertaubat. Dan inilah pendapat yang paling benar.

Kita tidak dapat menjadikan kafarah wajib tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Namun demikian, sekelompok ulama seperti Ibnu Abbas, Hasan Al-Bashri, Qatadah Ibnu Ju’amah dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya dan Syafi’i dalam kitabnya Al-Qadim. Yang lain berkata bahwa seseorang yang berjima’ dengan isterinya yang sedang haid harus membayar kafarat berdasarkan hadits ini. (Pendapat ini termasuk yang dipegang oleh Ibnu Taimiyah, silahkan lihat terjemahan Fatawa an-Nisa, terbitan Pustaka Aliyah, hal. 53 – pent.)

Pertanyaan:

Apakah diperbolehkan seseorang berjima’ dengan isterinya yang telah berakhir masa haidnya tetapi belum mandi janabah?

Jawab:

Jumhur ulama mengatakan tidak diperbolehkan seorang suami berjima’ dengan isterinya sebelum dia mandi janabah, dan inilah pendapat yang paling benar.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS Al-Baqarah [2] : 222)

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ bagian ayat ini dijelaskan dengan mandi janabah.
Sebagian Ahlul ilmi seperti ‘Atha, Qatadah, Auza’i, Dawud Ibnu ‘Ale Adh-Dhahari, Ibnu Hazim, dan juga Syaikh Albani dalam bukunya Adabuz Zifaf memandang Bolehnya melakukan jima’ sebelum mandi janabah. Namun demikian, pendapat yang paling benar adalah (yang dipegang) jumhur ulama.

Akibat buruk yang dapat ditimbulkan karena melakukan penetrasi ketika isteri dalam keadaan haid:
1. Alat kelamin laki-laki dapat terkena penyakit
2. Bayi mungkin dilahirkan dalam keadaan cacat, atau lahir tanpa rambut
3. Kehamilan dapat terjadi di luar kandungan
4. Dapat menimbulkan keresahan, depresi dan kesedihan pada seseorang
5. Dapat menimbulkan sakit kepala kepada seseorang.

Wallahu a’lam.


Hadits no. 158

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَيْسَ إذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ

Dari Abu Said Al-Khudry bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Bukankah wanita itu jika datang haid tidak boleh shalat dan berpuasa." Muttafaq Alaihi dalam hadits yang panjang.

Hadits ini menunjukkan larangan shalat dan berpuasa bagi wanita ketika mengalami haid. Hal ini lah yang menyebabkan kekurangan dalam agamanya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم . Mengenai kekurangan dalam agama ini, hal ini disebabkan karena dia tetap tidak melakukan shalat dan puasa selama berhari-hari.

Seorang wanita harus mengganti puasa yang ditinggalkannya dan tidak mengganti shalat yang ditinggalkannya karena haid, sebagaimana dalam hadits Aisyah yang berkata bahwa kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tetapi tidak mengqadha shalat (yang tertinggal karena haid).



Hadits no. 159

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا قَالَتْ : لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْت ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي .
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ


'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Ketika kami telah tiba di desa Sarif (terletak di antara Mekah dan Madinah), aku datang bulan. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang haji, namun engkau jangan berthawaf di Baitullah sampai engkau suci." Muttafaq Alaihi dalam hadits yang panjang.

لَمَّا memiliki tiga arti:
1. حين - berarti periode waktu, waktu sebagaimana di dalam ayat:

فَلَمَّا أَنْ جَاءَ الْبَشِيرُ أَلْقَاهُ عَلَى وَجْهِهِ فَارْتَدَّ بَصِيرًا قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Yakub, lalu kembalilah dia dapat melihat. Berkata Yakub: "Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya".” QS Yusuf [12] : 96)

2. نفي وجزم - berarti tidak

كَلا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ
“Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya,” (QS Abasa [80] : 23)

3. إلا – berarti ‘kecuali’.

إِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ
“tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada penjaganya.” (QS AT-Takwir [86] : 4)

سؤف - adalah sebuah daerah antara Makkah dan Madinah

Dalam hadits ini kita mempelajari bahwa seorang wanita yang sedang haid diperbolehkan melakukan semua ritual ibadah haji, yakni tinggal di Mina, Arafah dan Muzdalifah, kecuali tawaf mengelilingi Ka’bah sampai dia suci. Jika haidnya berlangsung lebih lama, kelompoknya harus menunggunya sampai dia suci dan melakukan tawaf ifadah sebagaimana yang ditunjukkan hadits Aisyah dalam Shahih Muslim.

Aisyah رضي الله عنها berkata: Ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم memutuskan untuk bersiap-siap (untuk perjalanan pulang), beliau menemukan Shafiyah di pintu tendanya, dengan wajah muram dan bersedih. Beliau bersabda: ‘Aqra halqa’, engkau akan menahan kami” Lalu beliau bertanya, “apakah engkau telah melakukan tawaf wada pada hari Nahar?” Shafiyah mengiyakan., kemudia beliau berkata. “Kalau begitu bersiaplah.” (Shahih Muslim. Kitab Haji,Wajib melakukan tawaf wada, kecuali bagi wanita yang haid) [2]

Kita harus memperhatikan terlebih kepada hal ini, karena sebagian ahlul ilmi mengatakan diperbolehkan melakukan tawaf ifadah kepada wanita yang sedang haid apabila kelompoknya tidak dapat menunggunya. Ini tidak benar. Kita mengikuti dalil.



Hadits no. 160
وَعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ ، أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ امْرَأَتِهِ ، وَهِيَ حَائِضٌ ؟ فَقَالَ : مَا فَوْقَ الْإِزَارِ .
رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَضَعَّفَهُ
Dari Muadz Ibnu Jabal Radliyallaahu 'anhu bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tentang apa yang dihalalkan bagi seorang laki-laki terhadap istrinya yang sedang haid. Beliau menjawab: "Apa yang ada di atas kain." Diriwayatkan dan dianggap lemah oleh Abu Dawud.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud yang mendha’ifkannya karena adanya Baqiyah Ibnul Walid dan dia seorang mudallis yang meriwayatkan banyak hadits. Sa’id bin Abdul Al-Aqtash yang merupakan perawi dha’if juga terdapa di dalam sanadnya. Lebih jauh, sanadnya terputus karena Abdur Rahman bin Aid Al-Azdi yang tidak mendengarnya dari Mu’adz. Silahkan merujuk pada ‘Awn Al-Ma’bud juz 1 halaman 249.

Hadits ini menunjukkan haramnya melakukan mubasyarah diantara pusar dan lutut. Namun demikian hadits ini dha’if dan bertentangan dengan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadits Anas (hadits no. 155 - bahwa orang yahudi jika ada seorang perempuan di antara mereka yang haid, mereka tidak mengajaknya makan bersama. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kerjakanlah segala sesuatu kecuali bersetubuh.")[yang dimaksud adalah termasuk berhubungan intim tanpa penetrasi, lihat penjelasannya serta hadits berikutnya – pent)


Hadits no. 161

وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : { كَانَتْ النُّفَسَاءُ تَقْعُدُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِينَ يَوْمًا } .
رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ ، وَاللَّفْظُ لِأَبِي دَاوُد

Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu berkata: Wanita-wanita yang sedang nifas pada masa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meninggalkan shalat selama 40 hari semenjak darah nifasnya keluar. Riwayat Imam Lima kecuali Nasa'i dan lafadznya dari Abu Dawud.

Ummu Salamah رضي الله عنها Hind Binti Abi Umaiyah. Dia adalah isteri terakhir Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang meninggal. Hadits ini melalui jalan Musa Alasadia. Al-Bukhari menyebutnya dengan sesuatu yang baik. Ad-Daruquthni berkata dia tidak dapat diterima sebagai dalil. Hadits ini dha’if dan ada hadits ini memiliki beberapa jalan dari para sahabat dan semuanya lemah.

Sebagian besar (jumhur) ulama berkata bahwa waktu nifas maksimum adalah 40 hari berdasarkan hadits ini. Namun demikian, jika dia (wanita yang sedang mengalami nifas –pent) telah suci sebelum 40 hari, dia harus mulai melakukan shalat, dan bilamana pendarahan terus berlangsung setelah 40 hari, maka hal itu tidak dianggap sebagai darah nifas, sehingga dia diwajibkan untuk shalat pada hari-hari tersebut. Syaikh Muqbil rahimahullah berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimum bagi nifas.
Apabila pendarahan telah berhenti kapan saja, maka dia dipandang telah suci. Wallahu musta’an.

Pertanyaan:

Jika seorang wanita telah suci pada saat Ashar, apakah dia harus shalat Dzuhur terlebih dulu kemudian shalat Ashar? Atau: jika dia telah suci pada saat Isya, apakah dia harus shalat Magrib terlebih dahulu lalu kemudian shalat Isya?

Jawaban:

Jumhur ulama berpendapat bahwa melaksanakan shalat Dzuhur dan Ashar, atau Magrib dan Isya. Namun demikian, sebagian ulama berkata bahwa tidak wajib baginya untuk shalat Dzuhur dan Ashar atau Magrib dengan Isya karena waktunya telah berlalu sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri dan lainnya, dan inilah pendapat yang paling benar karena waktu Dzuhur dan Magrib telah berlalu ketika dia masih dalam keadaan haid. Dengan demikian, kita tidak dapat memaksaan kepada orang-orang apa yang tidak diwajibkan di dalam syariat. Bahkan, syariat menunjukkan bahwa dia tidak dibolehkan shalat ketika dalam keadaan haid sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم jika dia haid dia tidak boleh shalat dan berpuasa.

Jika seorang wanita menunda shalat hingga menit-menit terakhir dan kemudian dia mengalami haid pada waktu shalat, dia tidak berdosa dan tidak perlu mengganti shalatnya.

Pertanyaan:

Jika seorang wanita sedang hamil, dapatkah dia mengalami haid?

Jawaban:

Jumhur ulama mengatakan bahwa tidak mungkin seorang wanita hamil dapat mengeluarkan hadi, karena darah mensutruasi berubah menjadi makanan untuk bayi. Namun demikian, Imam Malik, Syafi’i dan Ibnu Taimiyah bahwa wanita dapat saja mengalami haid dalam masa kehamilannya sebagaimana yang didukung oleh Syaikh Utsaminin dalam bukunya “Darah Kebiasaan Wanita”. Inilah pendapat yang paling benar, karena ada kemungkinan darah haid melampaui kebutuhan bayi. Wallahu a’lam.

Pertanyaan:

Apakah diperbolehkan menggunakan alat kontrasepsi (KB)?

Jawaban:

Ini adalah rencana dari musuh-musuh Islam. Melakukannya berarti telah mendukung rencana mereka. Nabi صلى الله عليه وسلم mendorong kita untuk memperbanyak umatnya. Nabi صلى الله عليه وسلم menyuruh menikahi wanita yang penuh cinta dan subur.

Sejauh mengenai pembolehan, sebagian ulama berpendapat bahwa boleh menggunakan alat kontrasepsi hanya untuk waktu yang singkat jika benar-benar dibutuhkan. Akibat buruk dari penggunaan alat kontrasepsi telah banyak terbukti. Jenis kontrasepsi jarum dan pill dapat berakibat buruk pada wanita saat ini dan di masa yang akan datang. Diantara keburukannya, dapat mempengaruhi emosinya (mudah marah –pent) yang dapat merusak kesehatan tubuhnya. Juga dapat mengakibatkan kanker dan infeksi.

Mengenai penggunaan kontrasepsi secara terus menerus, hal ini tidak diperbolehkan. Syaikh Muqbil berkata bahwa hal ini tidak diperbolehkan kecuali hal tersebut menyelamatkan jiwanya. (Catatan tambahan dari penyusun) - Syaikh Muqbil rahimahullah memiliki rekaman yang menolak penggunaan kontrasepsi. Beliau menyarankan setiap orang untuk menjauhinya. Apabila memang diperlukan bagi wanita, dianjurkan untuk melakukan pengaturan dalam berhubungan intim (coitus interruption) dengan persetujuan antara suami dan isteri sebagaimana yang disabdakan Nabi صلى الله عليه وسلم.

Pertanyaan:

Apabila seorang wanita mengalami keguguran, apakah darah tersebut termasuk nifas atau haid?

Jawaban:

Ada perselisihan dalam permasalahan ini. Yang benar adalah hal tersebut dianggap darah nifas karena dia hamil dan kemudian bayinya keluar (keguguran) apakah dia telah bernyawa atau belum. Hal ini apa yang kami ambil dari pendapat Syaikh Muqbil.

***
_____________
[1] Yang dimaksud dengan Imam yang lima adalah : Imam Ahmad, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah.



Sumber : http://www.salafitalk.net

Penomoran hadits-hadits tersebut diatas tidak dicantumkan sebagaimana yang terdapat dalam artikel aslinya, namun disesuaikan dengan nomor urut hadits yang terdapat pada kitab Bulughul Maram.

0 komentar: