Pada
zaman sahabat dahulu, mereka terbiasa memanggil Nabi dengan sebutan yang
sederajat seperti memanggil kawan-kawan mereka. Panggilan yang paling
popular adalah ‘Ya Muhammad, Ya Ibnu Abdullah, Ya Muhammad bin Abdullah, dan Ya Abal Qosim’ (Wahai bapak Al Qosim, menunjuk kepada putera Nabi yang tertua bernama Al Qosim). Kebiasaan memanggil nama sederajat seperti panggilan sesama teman, kemudian dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Panggilan yang diperbolehkan adalah menyertakan pangkat yang layak untuk Nabi seperti: ‘Ya Rasulullah, Ya Nabiyallah’. (Lihat surat An Nur ayat 63 dalam Tafsir Ibnu Katsir, cetakan Darul Hadist, Qohirah, Mesir jilid VI, halaman 100).
Dalam tafsir Ibnu Katsir tersebut, Muqotil bin Hayyan mengatakan tentang tafsir ayat ini: “Janganlah
engkau menyebut nama Nabi Muhammad jika memanggil Beliau dengan ucapan:
‘Ya Muhammad’ dan janganlah kalian katakan: ‘Wahai anak Abdullah’, akan
tetapi Agungkanlah Beliau dan panggillah oleh kamu: ‘Ya Nabiyallah, Ya Rasulullah’.”
Imam Maliki, dari Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang arti surah An Nur ayat 63 di atas: “Telah memerintahkan Allah kepada sahabat Nabi dan kaum muslimin agar mengagungkan dan memuliakan Nabi.”
Berkata Ad Dahhak dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat diatas: “Dahulu
para sahabat memanggil Nabi dengan panggilan ‘Ya Muhammad, Ya Abal
Qosim’, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah melarang mereka dari
panggilan seperti itu demi mengagungkan Nabi-Nya. Maka para sahabat
memanggil Nabi dengan panggilan ‘Ya Rasulullah, Ya Nabiyallah’.” Pendapat ini juga dipegang oleh Mujahid dan Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu.”
Setelah
larangan Allah tersebut diturunkan, maka serentak seluruh sahabat Nabi
meninggalkan cara menyebut atau memanggil nama Nabi seperti memanggil
teman biasa, dan mereka mengubahnya menjadi ‘panggilan kehormatan’, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat An Nur ayat 63 tersebut: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).....”
Meskipun
keterangan di atas sudah terang dan jelas, kenyataannya di zaman modern
ini, masih ada juga sekelompok orang yang sudah dianggap golongan ‘intelektual Islam’
berani dengan lancar tanpa merasa bersalah menyebut dan memanggil nama
Nabi tanpa gelar kehormatan. Entah karena terlalu sering membaca
buku-buku karangan orang-orang Orientalis yang memang tidak
menaruh rasa hormat kepada Rasulullah atau karena malas
berpanjang-panjang menyebutkan nama Nabi bersama dengan ‘gelar
kebesaran’ beliau. Apalagi jika mesti menambahkan ucapan ‘Shallallahu ‘Alaihi Wasallam’ setelah menyebut nama Nabi. Padahal, semua ini sudah diperintah Allah dan RasulNya untuk diamalkan.
Adapun jika mereka dianggap tidak tahu tentang larangan pada surat An Nur ayat 63
tersebut di atas, rasanya agak sulit diterima akal, sebab mereka
dikenal sebagai orang yang tergolong intelektual, bukan golongan
orang-orang awam apalagi orang-orang jahil (bodoh).
Dengan melihat kenyataan ini, rasanya setiap individu muslim wajib saling ingat-mengingatkan
terhadap sesama saudara kita yang mulai rajin memanggil Nabi sedemikian
itu. Jika tidak demikian, maka akan semakin banyak jumlah orang yang
memanggil Nabi dengan panggilan rendahan itu. Apakah pantas
kita umat Islam yang mengaku pengikut Qur’an dan Sunnah kemudian
memanggil Nabi kita dengan panggilan “Muhammad” saja tanpa gelar…?
Sementara memanggil seorang Ketua RT saja kita menyebut Pak RT.
Apalagi memanggil seorang Presiden, orang akan melekatkan
bermacam-macam gelar kehormatan dan kemuliaan! Nah, bagaimana dengan
memanggil seorang Rasul yang merupakan semulia-mulia makhluk ciptaan
Allah....?
Rasul telah bersabda dalam hadisnya yang masyhur: “orang yang kikir adalah orang yang tidak mau bersholawat kepadaku ketika namaku disebut di dekatnya.” Sementara Allah sendiri di dalam Al Qur’an yang suci senantiasa bersholawat dengan meletakkan pangkat kebesaran Nabi ketika Allah menyebutkan nama Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Selain
kebiasaan memanggil Nabi dengan ‘panggilan rendahan’ itu, akhir-akhir
ini beredar juga sebuah ajaran baru yang mengatakan bahwa menyebut atau
memanggil nama Nabi dengan memakai ‘gelar’ di dalam lafazh sholawat adalah suatu perbuatan bid’ah. Dan mereka dimana-mana secara tegas mengatakan bahwa semua bid’ah
adalah sesat dan akan dicampakkan ke dalam neraka. Oleh karena itu
mereka mengatakan bersholawat kepada Nabi cukup dengan ucapan, “Allahumma sholli ‘ala Muhammad, wa ‘ala ali Muhammad”
saja tanpa gelar-gelar yang menunjukkan kebesaran Nabi. Padahal kalau
Sholawat ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya adalah: "Ya Allah berilah rahmat kepada si Muhammad dan Keluarga si Muhammad". Kurang beradab, bukan.....? Alasan mereka bershalawat seperti itu karena tidak ada didapati sepotong hadis pun dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mengajarkan bersholawat dengan menyertakan ‘gelar’ pada nama Nabi
Benarkah demikian adanya…?
Kami
mencoba meneliti beberapa potong hadis dari beberapa kitab hadis dan
alhamdulillah kami menemukannya. Berikut ini kami sampaikan beberapa
hadis tentang sholawat yang memakai gelar saat menyebut nama Nabi kita
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
- Dari Abu Sa’id Al Khudri ra.hu dia berkata, kami pernah bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulallah, kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, tetapi bagaimanakah cara kami bersholawat kepadamu?” Rasulullah Shaallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Ucapkanlah oleh kamu sekalian, “Allahumma sholli ‘ala Muhammadin ‘abdika wa rasulika kama shollaita ‘ala Ibrohim..( Ya Allah, limpahkanlah rahmatMu kepada Muhammad hamba-Mu dan Rasul-Mu sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu kepada Ibrohim..).” (Hadis Riwayat Bukhari, Bab Sholawat Atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam no.6358).
- Dari Abu Hurairah ra.hu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau telah bersabda, “Barangsiapa ingin pahalanya ditimbang dengan timbangan yang lebih berat dan sempurna ketika bersholawat atas kami, dan bersholawat atas ahli bait kami, hendaklah orang itu mengucapkan sholawat seperti ini: “Allahumma sholli ‘ala Muhammadinin Nabiyyi wa azwajihi ummahatil mu’miniina wadzuriyyatihi wa ahli baitihi kama shollayta ‘ala ali Ibrohim innaka hamiidun majid” (Ya Allah, limpahkanlah rahmatMu kepada Muhammad sang Nabi itu, juga kepada isteri-isterinya sebagai ibu-ibunya orang mu’min, kepada keturunan beliau dan keluarga beliau sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu kepada keluarga Ibrohim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (Hadis Riwayat Abu Dawud, Bab Sholawat Atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Dalam Sholat Setelah Tasyahhud, nomor 982).
Keterangan
dua hadis di atas cukup untuk menjadi bukti bagi kita bahwa bersholawat
dengan menyertakan pangkat ketika menyebut nama Nabi adalah sebuah perbuatan yang sunnah, bukan bid'ah, sebagaimana yang sering dituduhkan oleh segelintir orang di kalangan ummat Islam selama ini.
Justru sholawat dengan memakai gelar telah diperintahkan oleh Nabi
dalam hadis-hadis shohih, bahkan telah menjadi amalan para Sahabat, dan
generasi Salafus Sholih.
Wallahu a’lam bishshowab
0 komentar:
Posting Komentar